Rabu, 09 Desember 2009

TEORI SEMIOTIK KONOTASI FOTO MENURUT ROLAND BARTHES

Secara etimologis semiotik berasal dari kata Yunani semeion yang berarti penafsir tanda atau tanda dimana sesuatu dikenal. Semiotika ialah ilmu tentang tanda atau studi tentang bagaimana sistem penandaan berfungsi. Semiotika ialah cabang ilmu dari filsafat yang mempelajari “tanda” dan biasa disebut filsafat penanda. Semiotika adalah teori dan analisis berbagai tanda dan pemaknaan.

aliran semiotik konotasi yang dipelopori oleh Roland Barthes dimana pada waktu menelaah sistem tanda tidak berpegang pada makna primer, tetapi mereka berusaha mendapatkannya melalui makna konotasi. Barthes menyatakan bahwa ada dua sistem pemaknaan tanda: denotasi dan konotasi. Semiotika Barthes dinamakan semiotik konotasi ialah untuk membedakan semiotik linguistic yang dirintis oleh mentornya, Saussure.Strukturalisme adalah teori yang menyatakan bahwa seluruh organisasi manusia ditentukan secara luas oleh struktur sosial atau psikologi yang mempunyai logika independent yang sangat menarik, berkaitan dengan maksud, keinginan, maupun tujuan manusis. Bagi Freud, strukturnya adalah psyche; bagi Marx, strukturnya adalah ekonomi; bagi Barthes, strukturnya ialah gambar; dan bagi Saussure, strukturnya adalah bahasa. Kesemuanya itu mendahului subjek manusia individual atau human agent dan menentukan apa yang akan dilakukan manusia pada semua keadaan. dalam konteks semiotik adalah pandangannya mengenai tanda.

Tanda terdapat dimana-mana; kata adalah tanda, demikian pula gerak isyarat, lampu lalu lintas, bendera dan sebagainya. Struktur karya sastra, film, bangunan atau nyanyian burung dapat dianggap sebagai tanda.
Untuk membahas semiotika gambar, pendekatan struktural Roland Barthes, pakar semiotika asal Prancis, tentang gambar memadai untuk melihat feomena gambar dalam teknologi komunikasi baru zaman sekarang. Fenomena gambar (mass image) tetap menarik perhatian kita sampai sekarang dan bahkan masih menjadi perdebatan teoritis. Gambar sudah menjadi menu harian kita. Dilihat dari sisi ini. Perhatian Barthes pada fenomena gambar dapat kita tempatkan dalam satu garis dengan kritik budaya media (culture industry).

Barthes menggunakan istilah orders of signification. First order of signification adalah denotasi, sedangkan konotasi adalah second order of signification. Tatanan yang pertama mencakup penanda dan petanda yang berbentuk tanda. Tanda inilah yang disebut makna denotasi. Kemudian dari tanda tersebut muncul pemaknaan lain, sebuah konsep mental lain yang melekat pada tanda (penanda). Pemakaian baru inilah yang kemudian menjadi konotasi.

Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan semiologi Saussure, yang berhenti pada penandaan dalam tataran denotatif.

Barthes membedakan dua macam itu karena ia akan mencari batasan antara pesan denotatif dan konotatif. Untuk menciptakan sebuah semiotika konotasi gambar, kedua pesan ini harus dibedakan terlebih dahulu karena sistem konotasi sebagai semiotik tingkat dua dibangun di atas sistem denotatif. Dalam gambar atau foto, pesan denotasi adalah pesan yang disampaikan secara keseluruhan dan pesan konotasi adalah pesan yang dihasilkan oleh unsur-unsur gambar dalam foto. Sebagai contoh: secara denotatif, Babi adalah nama sejenis binatang, namun secara konotatif “babi” dapat diasosiasikan dengan hal lain, seperti: polisi yang korup, tentara yang kejam, dan lain sebagainya.

Denotasi merupakan tingkat makna lapisan pertama yang deskriptif dan literal serta dipahami oleh hampir semua anggota suatu kebudayaan tertentu tanpa harus melakukan penafsiran terhadap tanda denotatif tersebut, tanda disebut juga sebagai analogon. Pada tingkat makna lapisan kedua, yakni konotasi, makna tercipta dengan cara menghubungkan penanda-petanda dengan aspek kebudayaan yang lebih luas: keyakinan-keyakinan, sikap, kerangka kerja, dan ideologi-ideologi suatu formasi sosial tertentu.

Barthes menyebut realitas dalam foto yang kita alami sebagai real unreality. Disebut unreality karena apa yang dihadirkan sudah lewat (temporal anteriority), tidak pernah dapat memenuhi kategori here-now, sekarang disini; dan disebut real karena fotografi tidak menghadirkan ilusi melainkan presence secara spasial. Kategori ini merupakan pengalaman orang modern (yang hidup dalam mass image) akan realitas. Foto berita menurut Barthes ialah meliputi pesan tanpa kode (message without a code) dan juga sekaligus pesan dengan kode (message with a code). Foto berita yang pada hakikatnya merupakan representasi sempurna atau analogon dari relitas yang sebenarnya (denotasi) ternyata sampai pada pembaca sudah dalam bentuk konotasi dan mitos. Barthes mengajukan sebuah hipotesis bahwa dalam foto beritapun rupanya (a strong probability) terdapat konotasi. Akan tetapi konotasi ini tidak terdapat pada tahap pesan itu sendiri melainkan pada tahap proses produksi foto. Disamping itu, konotasi muncul karena foto berita akan dibaca oleh publik dengan kode mereka. Dua hal inilah yang memungkinkan foto berita mempunyai konotasi atau mengandung kode.

Pengertian kode (code) di dalam strukturalisme dan semiotik adalah sistem yang memungkinkan manusia untuk memandang entitas-entitas tertentu sebagai tanda-tanda menjadi sesuatu yang dapat dimaknai. Umberto Eco menyebut kode sebagai aturan yang menjadi tanda tampilan yang konkrit dalam sistem komunikasi.
Dalam foto berita, Barthes tidak membicarakan pentingnya “kode” dalam membaca tulisan pada foto berita, dengan asumsi bahwa kita hanya membaca berita dalam bahasa yang sudah kita kuasai. Berkaitan dengn foto berita, Barthes masih memperhatikan hubungan antara posisi teks dan kaitannya dengan signification yang dihasilkan. Seperti kita maklumi, sebuah foto berita dijelaskan oleh berbagai teks, ada yang berupa caption, headline, artikel atau gabuangan dari ketiganya. Adapun arti dari caption ialah mengulangi saja denotasi, oleh karena itu kurang menghasilkan efek konotatif bila dibandingkan dengan teks dalam headline atau artikel. Menurutnya foto berita umumnya bersifat not arbitrary, unmotivated, dokumenter (historis) dan tujuan utamanya untuk membuktikan sesuatu fakta atau kenyataan kepada publik, sehingga aspek verisme (gambaran sepersis mungkin) tanpa rekayasa maupun manipulasi subjek maupun peristiwa menjadi sangat penting. Sedangkan caption atau keterangan foto hanya berfungsi sebatas sebagai penambat (anchorage) dan pemancar (relay) belaka.

Dalam “The Photographic Message”, Barthes mengajukan tiga tahapan dalam membaca foto yang bersifat konseptual/diskursif, yaitu: perseptif, konotasi kognitif, dan etis-ideologis.
1) Tahap Perseptif adalah tahap transformasi gambar ke kategori verbal atau verbalisasi gambar yang bersifat imajinatif.
2) Tahap Konotasi Kognitif adalah tahap pengumpulan dan upaya menghubungkan unsur-unsur “historis” dari analogon (denotasi) ke dalam imajinasi paradigmatik. Dengan demikian pengetahuan kultural sangat menentukan.
3) Tahap Etis-Ideologis adalah tahap pengumpulan berbagai penanda yang siap “dikalimatkan” sehingga motifnya dapat ditentukan.

Ketiga tahap di atas tersebut merupakan tahapan-tahapan konseptual atau diskursif untuk menentukan wacana suatu foto dan ideologi atau moralitas yang berkaitan. Dengan demikian objektifitas pesan foto dapat diamati dan diukur.
Foto ibarat kata kerja tanpa kata dasar (infinity), dalam “The Photographic Message” Barthes menyebutkan enam prosedur atau kemungkinan untuk mempengaruhi gambar sebagai analogon. Analogon yaitu apa yang dihasilkan dalam menulis dengan bahasa gambar, menulis dengan bahasa foto berarti sebuah kegiatan intervensi pada tingkat kode. Menurut Barthes, citra pesan ikonik/iconic message (yang dapat kita lihat, baik berupa adegan/scene, lanskep, atau realitas harfiah yang terekam) dapat dibedakan lagi dalam dua tataran, yaitu:
a. Pesan harfiah/pesan ikonik tak berkode (non-coded iconic message), sebagai sebuah analogon yang berada pada tataran denotasi citra yang berfungsi menaturalkan pesan simbolik.
b. Pesan simbolik/pesan ikonik berkode (coded iconic message), sebagai analogon yang berada pada tataran konotasi yang keberadaannya didasarkan atas kode budaya tertentu atau familiaritas terhadap streotip tertentu. Pada tataran ini, Barthes mengemukakan enam prosedur konotasi citra –khususnya menyangkut fotografi untuk membangkitkan konotasi dalam proses produksi foto menurut Roland Barthes. Prosedur-prosedur tersebut terbagi dalam dua bagian besar, yaitu konotasi yang diproduksi melalui modifikasi atau intervensi langsung terhadap realita itu sendiri (Trick Effect, Pose dan Objects) dan konotasi yang diproduksi melalui wilayah estetis foto (Photogenia, Aestheticism dan Syntax), yaitu:
• Trick Effect ialah manipulasi gambar secara artifisial.
• Pose ialah posisi, ekspresi, sikap dan gaya subjek foto.
• Object ialah penentuan point of interest gambar/ foto.
• Photogenia ialah teknik pemotretan dalam pengambilan gambar (misalnya: lighting, exposure, bluring, panning, angle dan lainnya).
• Aestethism yaitu format gambar atau estetika komposisi gambar secara keseluruhan dan dapat menimbulkan makna konotasi.
• Sintaksis yaitu rangkaian cerita dari isi foto/ gambar, yang biasanya berada pada caption dalam foto berita dan dapat membatasi serta menimbulkan makna konotasi. Fungsi caption ialah:
o Fungsi Penambat/ Pembatasan (anchorage) agar pokok pikiran dari pesan dapat dibatasi sesuai dengan maksud penyampaiannya.
o Fungsi Pemancar/ Percepatan (relay) agar langsung dipahami maksud dari pesan yang disampaikan.

denotasi ialah apa yang difoto yang memunculkan pertanyaan ‘ini foto apa’ , sedangkan konotasi adalah bagaimana ini bisa difoto? atau menitikberatkan pertanyaan ‘mengapa fotonya ditampilkan dengan cara seperti itu?’. Atau dengan kata lain, denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap objek; sedangkan konotasi adalah bagaimana menggambarkannya.
Mitos menurut Roland Barthes bukanlah mitos seperti apa yang kita pahami selama ini. Mitos bukanlah sesuatu yang tidak masuk akal, transenden, ahistoris, dan irasional. Anggapan seperti itu, mulai sekarang hendaknya kita kubur. Tetapi mitos menurut Barthes adalah sebuah ilmu tentang tanda. Menurut Barthes, mitos adalah type of speech (tipe wicara atau gaya bicara) seseorang. Mitos digunakan orang untuk mengungkapkan sesuatu yang tersimpan dalam dirinya. Orang mungkin tidak sadar ketika segala kebiasaan dan tindakannya ternyata dapat dibaca orang lain. Dengan menggunakan analisis mitos, kita dapat mengetahui makna-makna yang tersimpan dalam sebuah bahasa atau benda (gambar).Roland Barthes pernah mengatakan, ”Apa yang tidak kita katakan dengan lisan, sebenarnya tubuh kita sudah mengatakannya”. Pernyataan itu mengindikasikan signifikansi bahasa simbolik manusia. Dalam kehidupan ini, manusia selain dibekali kemampuan berbahasa juga dibekali kemampuan interpretasi terhadap bahasa itu sendiri. Bahasa, dalam hal ini, tidak hanya terfokus pada bahasa verbal atau bahasa nonverbal manusia, tetapi juga pada bahasa-bahasa simbolik suatu benda (seperti gambar) atau gerakan-gerakan tertentu.

Sebagai sistem semiotik, mitos dapat diuraikan ke dalam tiga unsur yaitu; signifier, signified dan sign. Barthes menggunakan istilah berbeda untuk tiga unsur tersebut yaitu form, concept dan signification. Form/penanda merupakan subyek, concept/petanda adalah obyek dan signification/tanda merupakan hasil perpaduan dari keduanya. Dalam semiotika tingkat pertama (linguistik), penanda diganti dengan sebutan makna, pertanda sebagai konsep, dan tanda tetap disebut tanda. Sedangkan dalam mitos, penanda dianggap bentuk, pertanda tetap sebagai konsep, dan tanda diganti dengan penandaan. Proses simbolisasi seperti itu bertujuan mempermudah kita dalam membedakan antara linguistik dan mitos dalam semiotika. Menurut Fiske, mitos (myth) adalah bagaimana menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos merupakan produk kelas sosial yang mempunyai suatu dominasi. Menurut Susilo, mitos adalah suatu wahana dimana suatu ideologi berwujud. Menurut Van Zoest, ideologi adalah sesuatu yang abstrak. Ideologi harus dapat diceritakan, cerita itulah yang dinamakan mitos (myth).
Menurut Barthes mitos memiliki empat ciri, yaitu:
1. Distorsif. Hubungan antara form dan concept bersifat distorsif dan deformatif. concept mendistorsi form sehingga makna pada sistem tingkat pertama bukan lagi merupakan makna yang menunjuk pada fakta yang sebenarnya.
2. Intensional. Mitos tidak ada begitu saja. Mitos sengaja diciptakan, dikonstruksikan oleh budaya masyarakatnya dengan maksud tertentu.
3. Statement of fact. Mitos menaturalisasikan pesan sehingga kita menerimanya sebagai sebuah kebenaran yang tidak perlu diperdebatkan lagi. Sesuatu yang terletak secara alami dalam nalar awam.
4. Motivasional. Menurut Barthes, bentuk mitos mengandung motivasi. Mitos diciptakan dengan melakukan seleksi terhadap berbagai kemungkinan konsep yang akan digunakan.

Salah satu contoh mitos yang diangkat Barthes dalam buku Mitologi ialah permainan gulat. Mitos gulat, menurut Barthes, merupakan sebuah bentuk profesionalisme dan keadilan sebuah permainan. Mungkin kita sering menonton pertunjukan gulat. Seperti realitasnya, gulat merupakan sebuah permainan rekayasa yang menghibur penonton dengan sajian kekerasan. Biasanya, seorang penonton akan puas dengan ajang balas dendam dalam gulat tersebut. Contoh, ketika si A, misalnya, dipukul dan tidak membalas, penonton akan mencemoohnya. Mitos gulat merupakan profesionalisme dan keadilan. Hal itu ditunjukkan ketika salah satu lawan menyerah dan tidak berdaya, secara otomatis, sang pemenang akan menghentikan pukulan atau kuncian tangan dan kakinya karena melihat sang lawan sudah tidak berdaya dan mengaku kalah. Di situlah mitos gulat itu terungkap.

Ketika mempertimbangkan sebuah berita atau laporan, akan menjadi jelas bahwa tanda linguistik, visual dan jenis tanda lain mengenai bagaimana berita itu direpresentasikan (seperti tata letak / lay out, rubrikasi, dsb) tidaklah sesederhana mendenotasikan sesuatu hal, tetapi juga menciptakan tingkat konotasi yang dilampirkan pada tanda. Barthes menyebutkan bahwa membagi tanda denotasi dan konotasi sebagai penciptaan mitos. Pada dasarnya semua hal dapat menjadi mitos; satu mitos timbul untuk sementara waktu dan tenggelam untuk waktu yang lain karena digantikan oleh berbagai mitos lain. Mitos menjadi pegangan atas tanda yang hadir.